Berpacaran Ala Kristen
Pacaran merupakan suatu topik yang hangat dan lazim ditemui di
tengah-tengah kalangan pemuda. Di dalam gereja, seringkali kita bisa melihat
banyak teman-teman kita yang sudah berpacaran ataupun sedang PDKT (pendekatan)
kepada lawan jenisnya. Namun demikian, banyak orang Kristen (bahkan di
antaranya mungkin teman kita atau kita sendiri) yang tidak berpasangan dengan
orang yang seiman dan sepadan.
Bolehkah orang Kristen memiliki pasangan yang tidak seiman dan sepadan?
Pertanyaan ini seringkali diabaikan oleh orang Kristen karena tidak menyadari
pentingnya konsep berpasangan ala Kristen. Istilah Kristen di sini bukan hanya
sekedar menunjuk kepada orang Kristen secara umum tetapi kepada pengikut Kristus
yang tunduk kepada Firman Tuhan.
Tentang pacaran
Apakah berpacaran menurut konsep Kristen? Apa perbedaannya pacaran Kristen
dengan pacaran non-Kristen?
Berpacaran adalah suatu tahap yang melampaui tahap persahabatan antara seorang pria dan wanita, sebagai persiapan untuk memasuki tahap pernikahan. Wow! Terdengar begitu serius. Kenyataannya memang seserius itu. Banyak orang tidak mengerti keseriusan berpacaran dan hanya mengira kalau itu hanya untuk senang-senang. Pacaran melibatkan emosi dan jiwa, sehingga jangan heran kalau setiap kegagalan dalam berpacaran akan menimbulkan dampak pada hidup seseorang.
Berpacaran adalah suatu tahap yang melampaui tahap persahabatan antara seorang pria dan wanita, sebagai persiapan untuk memasuki tahap pernikahan. Wow! Terdengar begitu serius. Kenyataannya memang seserius itu. Banyak orang tidak mengerti keseriusan berpacaran dan hanya mengira kalau itu hanya untuk senang-senang. Pacaran melibatkan emosi dan jiwa, sehingga jangan heran kalau setiap kegagalan dalam berpacaran akan menimbulkan dampak pada hidup seseorang.
Kalau sudah menyadari bahwa pacaran adalah sesuatu yang serius, lalu apa?
Hanya menyadari kalau pacaran adalah sesuatu yang serius tidaklah cukup. Kita
juga sebagai orang Kristen harus menyadari bahwa setiap hidup kita adalah untuk
Tuhan (Kolose 1:16) dan tujuan hidup
kita adalah untuk mempermuliakan Tuhan dan menikmati Dia di dalam setiap aspek
kehidupan kita, termasuk di dalam hal mencari pasangan hidup. Karena itu, kita
tidak boleh sembarangan di dalam berpacaran dan di dalam mencari pacar.
Sebelum seorang Kristen mencari pasangan, dia harus terlebih dahulu
menyadari beberapa poin:
1. Dia hidup untuk
mempermuliakan Tuhan dan menikmati-Nya (Roma 11:36). Iman yang sejati adalah
iman yang menyandarkan hidup sepenuhnya kepada Kristus sebagai Juruselamat dan
menjadikan-Nya Tuhan (Yesus menjadi Penguasa dan kita taat sepenuhnya) di dalam
kehidupan kita. Bukankah sesuatu yang wajar bila segenap hidup kita
mempermuliakan Tuhan kita? Jadi sebelum mencari pacar, setiap orang Kristen
harus menyadari bahwa mencari pasangan pun supaya mempermuliakan Tuhan dan
dengan demikian mencari pacar yang bisa membuat kita terus lebih mempermuliakan
Tuhan.
2. Dia menyadari ada
panggilan yang Tuhan tetapkan di dalam hidupnya. Setelah ditebus oleh Kristus,
hidup kita pun memiliki tujuan (purpose) dan ada panggilan khusus bagi
kita sebagaimana kita masuk di dalam rencana kekal Allah. Mungkin banyak orang
belum tahu panggilannya secara pasti termasuk masalah pasangan hidup. Mencari
pasangan hidup bertujuan untuk menggenapi panggilan yang telah Tuhan tetapkan
di dalam hidup kita.
3. Kehidupan pernikahan
adalah sesuatu yang sakral dan kudus. Karena itu, pernikahan dan pacaran
(persiapan pernikahan) tidak boleh dipermainkan atau dibuat mainan. Seksualitas
(keintiman) juga diciptakan Tuhan sebagai sesuatu yang kudus yang boleh
dinikmati oleh manusia secara bertanggung jawab di dalam pernikahan.
Seksualitas dilakukan bukan sekedar untuk memuaskan nafsu birahi melainkan
untuk menikmati suatu keintiman yang menggambarkan relasi antar Pribadi Allah
Tritunggal dan menggambarkan relasi Kristus dengan jemaat-Nya.
Dari poin-poin di atas kita dapat langsung membedakan berpacaran ala
Kristen dan non-Kristen. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa berpacaran ala
Kristen tidak berpusat kepada diri tetapi pada Tuhan. Sedangkan berpacaran
non-Kristen tidak mungkin berpusat pada Tuhan karena tidak adanya relasi dengan
Tuhan.
Pasangan tidak seiman
Apa salahnya punya pacar yang tidak seiman dan sepadan? Kan gak pasti dia
akan tetap tidak percaya? Bukankah malah ada kesempatan juga untuk
mempertobatkan dia?
Memang benar kalau ada kemungkinan pasangan yang tidak seiman tersebut bisa
bertobat. Namun demikian, bertobat atau tidak bertobat bukan terletak di tangan
kita. Allah yang sudah menetapkan umat pilihan-Nya sehingga Dia tahu apakah
seseorang akan bertobat atau tidak. Kita hanya dapat menginjili orang tersebut.
Masalah percaya atau tidak, itu di luar kedaulatan kita.
II Korintus 6:14–15, “Janganlah kamu merupakan
pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab
persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah
terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara
Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan
orang-orang tak percaya?”
Di dalam ayat ini, Paulus telah memperingatkan anak-anak Tuhan untuk tidak
berpasangan dengan orang-orang yang tidak seiman. Memang latar belakang ayat
ini tidak hanya tertuju secara spesifik kepada masalah pasangan hidup. Ayat ini
juga mencakup gaya hidup, konsep pemikiran, dan lain-lain. Inti dari perikop
ini adalah untuk menyucikan diri dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan
dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita di dalam takut akan Tuhan (II Kor 7:1). Tetapi yang menjadi
permasalahan adalah mengapa orang Kristen ngotot untuk berpacaran dengan orang
non-Kristen? Apakah motivasi di baliknya? Benarkah motivasinya untuk
menguduskan pasangannya (dengan menginjilinya agar bertobat) atau sebenarnya
‘rumput tetangga lebih hijau’ dan mencoba merohanikannya? Jika benar motivasi
kita adalah penginjilan, apakah harus melalui pacaran? Kita dapat menginjili
siapa saja tanpa menjadikannya pasangan kita bukan? Jadi, jikalau memang
motivasi kita bukan untuk penginjilan, biarlah kita jujur mengatakannya.
Tetapi, kejujuran ini tidak melegitimasikan ketidaktaatan kita kepada Firman
Tuhan. Ini berarti kita yang harus bertobat dan menundukkan diri kita kembali
kepada otoritas Firman Tuhan menjadi penuntun hidup kita.
Problematika berpasangan dengan orang yang tidak seiman dan sepadan
Banyak orang yang hidup rukun meskipun pasangannya tidak sepadan. Kalau
begitu, kenapa tidak boleh? Apakah dampak hidup dengan pasangan yang tidak
seiman dan sepadan?
Pasangan Kristen dan non-Kristen memang dapat terlihat hidup di dalam
kerukunan. Namun sebenarnya, di dalam lubuk hati terdalam terdapat bentrokan
besar di antara kedua belah pihak, kecuali pihak yang Kristen berkompromi.
Meskipun seseorang mengkompromikan imannya untuk dapat bersama-sama dengan
pasangan yang tidak seiman dan sepadan, dia tidak dapat memungkiri kalau
sebenarnya dia tidak bahagia karena pernikahannya tidak dapat menjalankan
fungsi sebagaimana seharusnya sebuah pernikahan (lihat poin ke-3 di atas).
Beberapa perbedaan yang pasti akan menjadi masalah ketika seorang Kristen
berpasangan dengan orang yang tidak seiman dan sepadan:
1. Status hidup – Sebagai orang beriman, status hidup
kita sudah diubah menjadi anak-anak Allah. Kita memiliki sebuah hubungan yang
indah dengan Bapa di surga. Rasul Paulus menggambarkannya di dalam ayat yang
dikutip di atas dengan perbandingan antara terang dan gelap.
2. Standar hidup – Sebagai orang beriman, standar hidup
kita adalah Firman Tuhan. Kita sadar kalau kita harus taat sepenuhnya kepada
Allah dan tunduk kepada otoritas Alkitab. Bagaimana dengan pasangan kita yang
non-Kristen?
3. Tujuan hidup – Sebagai orang beriman, tujuan hidup
kita adalah mempermuliakan Tuhan dan menikmati Dia selamanya. Kita rindu segala
sesuatu yang kita lakukan dapat menyenangkan Tuhan. Gol dari hidup orang
Kristen adalah Tuhan sendiri, sedangkan gol hidup non-Kristen adalah untuk
diri, dunia, dan setan.
4. Arti hidup – Sebagai orang beriman, kita menemukan
kepenuhan arti hidup ketika kita bertemu dengan Kristus baik di dalam
keselamatan (sebagai Juruselamat) maupun seluruh aspek hidup kita (sebagai Tuhan).
Singkatnya, arti hidup kita adalah Kristus. Namun, pasangan yang non-Kristen
akan hidup tanpa Kristus, setiap hal yang mereka lakukan adalah sia-sia,
seperti kata Pengkhotbah.
5. Eksistensi hidup – Setiap orang beriman dikatakan sudah
dipindahkan dari mati kepada hidup, sedangkan orang non-Kristen masih berada di
dalam kematian. Hal ini membedakan keberadaan dan kualitas hidup itu sendiri,
orang Kristen menghidupi kehidupan yang hidup, yang berarti bertumbuh,
sedangkan orang non-Kristen menghidupi kehidupan yang mati, yang berarti
membusuk.
Akhir kata, apakah motivasi kita ketika bertanya bolehkah orang Kristen
berpasangan dengan non-Kristen? Biarlah kita jujur di hadapan Tuhan dan sebagai
anak Tuhan rela tunduk hidup di bawah otoritas kebenaran firman Tuhan. Dengan
demikian, kita belajar di dalam aspek ini mempertuhankan Kristus dalam hidup
kita. Jadi, marilah kita belajar mencari kehendak Tuhan yang adalah pusat dari
hidup kita dan bukan mencari batasan sampai di mana kita masih ‘tidak
melanggar’ kehendak Tuhan. Soli Deo Gloria.
Comments
Post a Comment